Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

,
Secara leksikal, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri. Dari asal usul peristilahan, MBS adalah terjemahan langsung dari School-Based Managemen (SBM). Istilah ini mula-mula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah.
Reformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Tuntutan perubahan lingkungan sekolah dimaksud antara lain tuntutan dunia kerja, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Lulusan sekolah pada saat itu di bawah standar tuntutan berbagai bidang kebutuhan, yang mengakibatkan kekecewaan banyak kalangan yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Definisi-definisi yang dikemukakan di bawah ini cakupan ini cakupannya cukup bervariasi. Ada yang lingkupnya luas sekali hingga mencakup kawasan politis, ada pula yang bermakna lebih sempit, yaitu hanya mencakup kawasan operasional sekolah bahkan ada yang lebih spesifik, yaitu pada proses belajar mengajar di kelas saja. Namun demikian, pada intinya sama, yaitu terjadinya pergeseran kewenangan yang semula berada di tangan birokrasi pemerintah pusat ataupun daerah menuju ke lingkungan sekolah. Bank dunia mengeluarkan semacam panduan yang didasarkan pada studi kasus di enam negara. Studi kasus tersebut menggambarkan desentralisasi dan reformasi MBS di sekolah-sekolah negeri di Chicago, sekolah-sekolah manajemen mandiri di New Zealand, sekolah-sekolah otonomi di Nikaragua dan sekolah-sekolah di Spanyol. MBS di definisikan sebagai bentuk yang paling radikal dalam upaya desentralisasi pendidikan karena MBS memberikan transfer dalam pengambilan keputusan pada tingkat sekolah. Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berati pendekatan politisi untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa. Definisi ini tidak dapat dilepaskan dari latar belakang orang yang memaknainya. Definisi yang muncul dari kondisi pendidikan Amerika yang terpuruk tersebut menggugah keinginan para pengambil kebijakan di negara tersebut menggugah keinginan para pengambil kebijakan di negara tersebut untuk mengubah sistem pengelolaan sekolah. Inisiatif penerapan MBS di sana datang dari birokrat yang sadar akan pentingnya memberikan kekuasaan pada masing-masing sekolah secara langsung. Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung jawab pada bidang tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakkan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada sekolah yang menyangkut keputusan dari pemerintah darah kepada sekolah yang menyangkut bidang anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena itu, MBS memberikan hak kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua. MBS dalam pengertian yang sama dikemukakan oleh Ayer dan Stonehill (1993) adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara individual. MBS memberi kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang anggaran, personel, dan kurikulum. Dengan keterlibatan stakeholder lokal dan pengambilan keputusan dalam MBS dapat meningkatkan belajar yang efektif bagi siswa. Berdasarkan definisi tersebut, yang dimaksud kinerja sekolah adalah terjadinya lingkungan belajar yang efektif. Diyakini dengan adanya lingkungan belajar yang efektif maka prestasi belajar siswa, berupa prestasi akademik ataupun non-akademik akan meningkat. Alasan ini cukup rasional karena lingkungan sekolahlah yang paling mengetahui bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi siswanya. Selama pengelolaan pendidikan ditentukan oleh pusat maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan secara efektif. MBS adalah salah satu dari beberapa bentuk reformasi pendidikan dalam rangka memperbaiki pendidikan, terutama memperbaiki lingkungan pengajaran dan pembelajaran bagi siswa. Namun, Paterson (1991) mengingatkan bahwa dalam pelaksanaannya sering terjadi salah konsentrasi yang seharusnya terfokus pada aktivitas pengajaran malah sering kali perhatiannya terpusat pada kedisiplinan siswa. Kesalahan konsentrasi dalam penerapan MBS ini harus menjadi perhatian para pengelola pendidikan sehingga pengalaman tersebut bisa jadi pelajaran dan tak perlu terulang. Pada umumnya, dalam pelaksanaan MBS harus menentukan salah satu fokus arah dan tujuan secara jelas, yaitu bagian mana kinerja sekolah yang akan ditingkatkan. Sulit untuk meningkatkan kinerja sekolah secara umum tanpa adanya arah yang jelas. Apakah akan terfokus pada mutu belajar siswa, mutu pengelolaan keuangan, dan lain-lain. Ketika MBS diaplikasikan secara umum, seperti uji coba pada beberapa negara maju maka yang berhasil adalah sasaran-sasaran sekunder dan tersier, sedangkan sasaran primernya, yaitu peningkatan mutu belajar mengajar gagal untuk ditingkatkan. Misalkan di Amerika Serikat pengaruh MBS dalam meningkatkan prestasi belajar siswa hasilnya bervariasi. Di Maryland terjadi peningkatan nilai ujian yang berarti setelah menjalankan beberapa tahapan reformasi, termasuk di antaranya penerapan MBS. Sementara itu Dade Country, Florida justru terjadi penurunan nilai ujian setelah tiga tahun menerapkan MBS. Dalam manajemen sekolah model MBS ini berarti tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut karakteristik-karakteristik dan kebutuhan-kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, warga sekolah memiliki otonomi dan tanggung jawab yang besar atas penggunaan sumber daya sekolah guna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas pendidikan yang efektif demi perkembangan jangka panjang sekolah. Sebelum MBS diterapkan di Hongkong, sekolah-sekolah di sana tidak berjalan secara efektif. Seolah efektif adalah sekolah yang dijalankan sesuai dengan fungsi dan tujuannya masing-masing. Berarti efektivitas antara satu sekolah dengan sekolah yang lain berlainan, dan tidak harus sama. Sekolah-sekolah di Hongkong tidak efektif karena tidak dimilikinya otonomi dan tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan dan memecahkan permasalahan-permasalahan di sekolahnya. MBS memberikan kekuasaan yang luas hingga tingkat sekolah secara langsung. Dengan adanya kekuasaan pada tingkat lokal sekolah maka keputusan manajemen terletak pada stakeholder lokal, dengan demikian mereka diperdayakan untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan kinerja sekolah. Dengan MBS terjadi proses pengambilan secara kolektif. Pengambilan keputusan kolektif ini dapat meningkatkan efektivitas pengajaran dan meningkatkan kepuasan guru. Walaupun MBS memberikan kekuasaan penuh kepada sekolah secara individual, dalam proses pengambilan keputusan sekolah tidak boleh berada di satu tangan saja. Ketika MBS belum diterapkan, proses pengambilan keputusan sekolah sering kali dilakukan oleh pihak sekolah secara internal yang dipimpin langsung oleh kepala sekolah. Namun, dalam kerangka MBS proses pengambilan keputusan mengikutkan partisipan dari berbagai pihak baik internal, eksternal, maupun jajaran birokrasi sebagai pendukung. Dalam pengambilan keputusan harus dilaksanakan secara kolektif di antara stakeholder sekolah. MBS adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi. MBS juga memeliki potensi yang besar untuk menciptakan kepala seolah, guru, dan administrator yang profesional. Dengan demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui partisipasi langsung orang tua dan masyarakat. Definisi yang berkembang di Indonesia semacam ini tidak luput dari latar belakang sejarah pendidikan Indonesia. Selama puluhan tahun pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia dijalankan secara sentralistik. Ketika terjadi perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik maka pengelolaan sistem pendidikan juga didesentralisasikan. Namun, penulis kurang sependapat dengan pernyataan MBS di Indonesia sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Setidaknya, terdapat tiga alasan: pertama, desentralisasi pendidikan di Indonesia diterapkan sampai pada tingkat Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999. Kedua, MBS tidak dapat dijalankan apabila kewenangan pengelolaan pendidikan hanya sampai pada Pemda Kabupaten/Kota. Ketiga, MBS di Indonesia tidak mengikuti jalur desentralisasi pemerintahan daerah tersebut. Buktinya sebelum UU itu berlaku pada Januari 2001, MBS telah diuji cobakan pada 1.000 sekolah di seluruh Indonesia. Kesimpulannya bahwa penerapan MB di Indonesia tidak mengikuti jalur desentralisasi pemerintahan daerah yang di dalamnya terdapat desentralisasi pendidikan. MBS didefinisikan sebagai desentralisasi otoritas pengambilan keputusan pada tingkat sekolah yang pada umumnya menyangkut tiga bidang, yaitu anggaran, kurikulum, dan personel. Dalam sistem MBS otoritas dapat ditransfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dari pemerintah daerah ke pengawas sekolah, dari pengawas sekolah ke dewan sekolah. Dari dewan seolah ke kepala sekolah, guru administrator, konselor, pengembang kurikulum, dan orang tua. MBS adalah suatu bentuk administrasi pendidikan, di mana sekolah menjadi unit utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan bentuk tradisional manajemen pendidikan, di mana birokrasi pemerintah pusat sangat dominan dalam proses pembuatan keputusan.

0 Comment to “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)”

Posting Komentar